Dalam Kitab Al-Fiqh Al-Islamy wa Adillatuh Juz 2 disebutkan:
”Shalat Tarawih atau Qiyamu Ramadhan 20 Rakaat, Sunnah Muakkad.
”Shalat Tarawih atau Qiyamu Ramadhan 20 Rakaat, Sunnah Muakkad.
Ada pun dalil bahwa rakaatnya 20 adalah: Riwayat dari Yazid bin Rouman
yang berkata: ”Adalah manusia mendirikan Qiyamu Ramadhan di zaman Umar
dengan 23 rakaat.” Semua itu disaksikan oleh dan diikuti oleh segenap
shahabat, sehingga jadilah ia ijma’. Abu Bakar Abdul Aziz meriwayatkan
dalam Asy-Syafi dari Ibnu Abbas: ”Bahwa Nabi SAW shalat di bulan
Ramadhan 20 rakaat.” Dan adalah Umar ketika mengumpulkan manusia di
belakang Ubai bin Ka’ab, mereka shalat 20 rakaat. Dan dari Ali bahwa
beliau memerintahkan seorang untuk menjadi imam di bulan Ramadhan dengan
20 raka’at. Dan ini adalah ijma’. Dan telah tetap bahwa Ubai bin Ka’ab
ketika mengimami manusia mereka shalat 20 rakaat Qiyamu Ramadhan.
Sebagian Ulama menfatwakan bahwa shalat Tarawih itu 11 raka’at. Sesungguhnya dalil yang mendasarinya hanyalah 2, yaitu:
Hadits dari Aisyah.: “Adalah Rasulullah SAW tidak pernahr
menambah lebih dari 11 rakaat, di bulan Ramadhan dan di bulan yang
lain, beliau shalat empat raka’at, jangan tanya soal bagus dan
panjangnya. Kemudian beliau shalat lagi empat raka’at, jangan juga
tanya soal bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat (witir) tiga
raka’at. Maka aku (A’isyah) bertanya: ”Apakah engkau tidur sebelum
beriwitir?” Nabi SAW menjawab: ”Sesungguhnya kedua mataku terpejam,
tapi hatiku tidak tidur.” (HR Imam Bukhari Muslim)
Mari kita kupas masing-masing dalil tersebut. Dalil pertama ternyata
bukanlah dalil tentang shalat Tarawih, karena tidak ada Tarawih di luar
Ramadhan. Para ahli hadits seperti Imam Hanafi, Imam Syafi’i, Imam
Malik, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Tirmidzi,
Imam Baihaqi, dan lain-lain tidak menggunakan hadits tersebut sebagai
dasar untuk menetapkan bilangan raka’at Tarawih.
Sebagian orang menyangka bahwa para Ulama Salaf itu tidak tahu adanya hadits tersebut. Ini jelas salah sangka yang parah dan kebodohan yang perlu diluruskan. Sudah jelas hadits itu riwiyatkan oleh Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Tirmidzi, dan juga Imam Baihaqi. Tapi, kenyataannya para Ulama salaf itu justru memilih 20 rakaat Tarawih. Mengapa? Apakah para Ulama Salaf itu menentang hadits Nabi? Jawabannya jelas bukan. Yang benar adalah karena mereka semua tahu bahwa hadits itu bukan tentang Tarawih. Para Imam itu adalah para Ulama yang bermadzhab Syafi’i dalam Fiqih, dan kita semua tahu bahwa semua Ulama madzhab sepakat bahwa jumlah raka’at tarawih adalah 20 rakaat. Di akhir zaman ini saja kita memaksakan penafsiran bahwa hadits itu bicara tentang Tarawih, padahal bukan. Kesalahan berdalil memang bisa berbahaya.
Baiklah kini kita ungkap tentang pandangan Imam Ibnu Taimiyah. Beliau
dikenal sebagai Ulama pembela sunnah dan penentang bid’ah, paling tidak
demikian menurut pendapat para pengikut beliau. Beliau ini hidup
terpisah 7 abad dengan masa shahabat. Boleh dikatakan beliau inilah yang
dianggap orang yang mempopulerkan shalat Tarawih 8 rakaat. Tapi, mari
kita lihat apa yang beliau katakan dalam Kitab Fatawa-nya:
”Telah terbukti bahwa shahabat Ubay bin Ka’ab mengerjakan shalat Ramadhan bersama orang-orang waktu itu sebanyak 20 raka’at, lalu mengerjakan witir 3 raka’at. Kemudian mayoritas Ulama mengatakan bahwa itu adalah sunnah, karena pekerjaan itu dilaksanakan di tengah-tengah kaum Muhajirin dan Anshar, tapi tidak ada satu pun dari mereka yang menentang atau melarang perbuatan itu.”
Ada baiknya juga kita tampilkan pandangan dari Abdullah bin Muhammad
bin Abdul Wahab (Tokoh Wahabi). Dalam Kitab Majma’ Fatawi an-Najdiyah
diterangkan tentang jawaban beliau ketika ditanya tentang bilangan
raka’at Tarawih. Beliau menjawab bahwa shahabat Umar mengumpulkan
manusia untuk shalat berjama’ah di belakang Ubay bin Ka’ab. Maka mereka
shalat 20 raka’at.
Jadi, hanya orang bodoh yang mengatakan bahwa Tarawih 20 rakaat itu
pekerjaan bid’ah yang sesat, karena seluruh orang alim telah menyatakan
kesunnahannya. Hal itu hanya dikatakan oleh orang-orang di akhir zaman
ini saja. Bila Imam Bukhari, Muslim, Imam Tirmidzi, dan Imam Baihaqi
yang meriwayatkan Hadits tersebut tidak menganggapnya sebagai dalil
untuk Shalat Tarawih, mengapa pula orang-orang di akhir zaman merasa
lebih tahu dan melakukan kesalahan dengan menggunakannya sebagai dalil
Tarawih?
Nabi SAW telah bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak mematikan ilmu
dengan cara mencabutnya dari dada para ulama, akan tetapi Allah
mematikan ilmu dengan mematikan para ulamanya, jika telah tiada orang
alim maka manusia akan mengangkat pemimpin orang-orang yang bodoh..
Ketika ditanya mereka memberikan fatwanya tanpa ilmu, sehingga mereka
sesat dan menyesatkan.” (HR Bukhari Muslim)
Maka, waspadalah kepada fatwa-fatwa di akhir zaman ini yang menyelisihi pendapat yang telah disepakati oleh para Ulama Salaf.
B. Dalil Kedua
Riwayat dari dari Imam Malik dari Muhammad bin Yusuf dari Said bin
Yazid, ia berkata,”Umar bin Khattab telah memerintahkan Ubai bin Ka’ab
dan Tamim Ad-Dariy supaya keduanya shalat mengimami manusia dengan
sebelas rakaat.”
Matan riwayat ini ternyata ada selisih, karena menurut riwayat dari
Yazid bin Khushaifah bilangannya adalah 20 rakaat. Para pembela 11
rakaat mengatakan bahwa riwayat dari Yazid ini adalah Syadz (nyleneh).
Tapi, sebenarnya tidak ada yang mengatakannya demikian kecuali Syaikh
Al-Albani. Pendapat Syaikh Al-Albani ini kemudian diikuti saja secara
taqlid buta oleh para pengikut beliau tanpa meneliti lebih lanjut.
Sebenarnya yang syadz justru riwayat yang mengatakan 11 rakaat,
karena berbeda dengan kenyataan yang dilakukan pada masa itu. Selain
itu, suatu dalil yang matannya dipertentangkan tidak bisa disebut
shahih, karena dhaif secara matan. Maka, atas dasar apa Al-Albani
mengatakan bahwa riwayat ini shahih? Beliau menggunakan argumen bahwa
riwayat ini sesuai dengan hadits A’isyah yang mengatakan bahwa Nabi
shalat malam 11 rakaat. Pendapat Albani ini juga diikuti secara taqlid
buta oleh para pengikut beliau.
Argumen ini sungguh tidak tepat. Pertama, yang dijadikan rujukan
bukan berbicara tentang persoalan yang disandarkan kepadanya. Maka,
tidak bisa kedua dalil itu disambungkan, karena tidak sesuai dengan
ilmu musthalah hadits.
Kedua, Imam Malik sendiri yang meriwayatkan khabar tersebut justru berpendapat bahwa Tarawih itu 20 rakaat, sebagaimana yang kemudian menjadi fatwa resmi madzhab Maliki. Bila ada yang mengatakan bahwa Imam Malik memilih 11 rakaat, maka itu suatu kebohongan.. Seluruh kitab fiqih populer jelas menyebutkan bahwa menurut madzhab Maliki bilangan rakaat Tarawih adalah 20 rakaat. Silakan periksa pada Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh, juga kitab Al-Fiqh alaa Madzaahib al-Arba’ah. Bahkan sebagian fatwa dalam fiqih Maliki justru menjustifikasi jumlah 36 rakaat sebagaimana dilakukan di Madinah pada zaman tabi’in, yaitu di masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz.
Sangat tidak logis bila Imam Malik mengetahui suatu dalil kemudian
beliau menentang dalil tersebut. Semua orang, termasuk di luar kalangan
Madzhab Maliki, mengakui bahwa beliau adalah orang yang tsiqah dan
memegang teguh sunnah. Bahkan belaiulah pelopor diutamakannya dalil
hadits di atas dalil rasio.
Maka, dalil kedua ini pun gugur dan tidak dapat dijadikan argumen sebagai dasar untuk menjustifikasi bahwa shalat Tarawih itu 11 raka’at dan yang 20 rakaat adalah bid’ah dhalalah. Selain itu, tidak mungkin para Imam madzhab dan Imam-imam Hadits itu adalah para pembuat bid’ah.
C. Dalil-dalil yang lain
Sesungguhnya tidak ada lagi dalil lain yang cukup kuat untuk
menyokong pendapat Tarawih 11 rakaat itu. Ada satu hadits dhaif dari
Ibnu Umar Ra., beliau menyebutkan, “Nabi SAW menghidupkan malam
Ramadhan bersama manusia delapan raka’at kemudian witir.” (HR Ibnu
Hibban)
Albani mengatakan bahwa hadits ini derajatnya adalah Hasan berdasarkan syahidnya (meningkat dari dhaif menjadi hasan karena ada hadits dari A’isyah). Ini juga tidak tepat, karena syahidnya tidak mencocoki dengan masalah yang disyahidi. Dengan kata lain, sebenarnya syahidnya tidak ada.
Bila dalil dari A’isyah dipergunakan untuk shalat Tarawih maka dalil-dali berikut ini pun harus dipergunakan pula:
Zaid bin Khalid al-Juhani berkata: ”Aku perhatikan shalat malam Rasulullah SAW. Beliau shalat dua rakaat yang ringan, kemudian ia shalat dua rakaat yang panjang sekali. Kemudian shalat dua rakaat, dan dua rakaat ini tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya, kemudian shalat dua rakaat (tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya), kemudian shalat dua rakaat (tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya), kemudian shalat dua rakaat (tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya), kemudian witir satu rakaat, yang demikian adalah tiga belas rakaat.” (HR Imam Malik, Muslim, Abu Dawud dan Ibnu Nashr)
Zaid bin Khalid al-Juhani berkata: ”Aku perhatikan shalat malam Rasulullah SAW. Beliau shalat dua rakaat yang ringan, kemudian ia shalat dua rakaat yang panjang sekali. Kemudian shalat dua rakaat, dan dua rakaat ini tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya, kemudian shalat dua rakaat (tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya), kemudian shalat dua rakaat (tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya), kemudian shalat dua rakaat (tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya), kemudian witir satu rakaat, yang demikian adalah tiga belas rakaat.” (HR Imam Malik, Muslim, Abu Dawud dan Ibnu Nashr)
Dari Aisyah., ia berkata: "Adalah Rasulullah SAW apabila bangun
malam, memulai shalatnya dengan dua rakaat yang ringan, kemudian shalat
delapan rakaat, kemudian berwitir (tiga rakaat)." (HR Imam Ahmad dan
Nasa’i)
Dari Aisyah., "adalah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam
tidur, ketika bangun beliau bersiwak kemudian berwudhu, kemudian shalat
delapan rakat, duduk setiap dua rakaat dan memberi salam, kemudian
berwitir dengan lima rakaat, tidak duduk kecuali ada rakaat kelima, dan
tidak memberi salam kecuali pada rakaat yang kelima. Maka ketika
muadzin beradzan, beliau bangkit dan shalat dua rakaat yang ringan." (HR
Imam Ahmad, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Baihaqi)
Selain itu, bila kita tandingkan perkataan A’isyah yang mengatakan
bahwa Nabi shalat tidak lebih dari 11 raka’at menjadi dipertanyakan,
karena ada hadits shahih yang lain yang menyebutkan bahwa beliau ada
shalat lebih dari 11 raka’at. Ini menunjukkan bahwa ini semua bukan
dalil tentang shalat Tarawih. Selain itu, dalam mengambil hukum dari
suatu dalil, telah disepakati bahwa ”al-mutsbitu muqaddam ala
an-naafii” (yang menetapkan ada didahulukan dari yang menetapkan tidak
ada).
Bila ada nash yang menyebut lebih banyak, maka nash itulah yang lebih diterima, karena yang menetapkan lebih mengetahui daripada yang tidak. Harusnya, mereka yang menggunakan dalil dari A’isyah Rda. menetapkan bahwa bilangan Tarawih itu 13 atau 15 rakaat.
D. Pandangan Para Ulama Salaf
Kini, mari kita lihat pendapat dan cara pandang para Ulama Salaf dalam menyikapi masalah ini.
Imam Abu Hanifah telah ditanya tentang apa yang telah dilakukan oleh
Khalifah Umar bin Khattab ra., maka beliau berkata: ”Shalat tarawih itu
adalah sunnat mu´akkadah". Dan Umar ra. tidaklah menentukan bilangan 20
raka´at tersebut dari kehendaknya sendiri. Dalam hal ini beliau
bukanlah orang yang berbuat bid´ah. Dan beliau tidak melaksanakan
shalat 20 raka´at, kecuali berasal dari sumber pokoknya yaitu dari
Rasulullah saw.”
Imam Tirmidzi dalam Kitab Sunan Tirmidzi menyebutkan: ”Mayoritas ahli
ilmu mengikuti apa yang diriwayatkan oleh Sayyidina Umar, Ali, dan
Shahabat-shahabat Nabi SAW tentang shalat Tarawih 20 raka’at. Ini juga
pendapat Ast-Tsauri, Ibnul Mubarak, dan Imam Syafi’i. Beliau Imam
Syafi’i berkata: ”Inilah yang aku jumpai di negeri kita Makkah. Mereka
semua shalat Tarawih 20 rakaat.”
Imam Malik dalam Al-Muwaththa’ menceritakan dari Yazid bin
Khushaifah, ”Orang-orang pada masa Umar melakukan shalat Tarawih di
bulan Ramadhan 23 raka’at.”
Hadits ini dishahihkan oleh Imam Nawawi (lihat Al-Majmu’ dan
al-Khulashah) , diakui oleh Al-Zaila’i (lihat Nashb al-Rayah),
dishahihkan oleh Imam as-Subki (Syarah Minhaj), Ibn al-Iraqi (lihat
Tharh at-Tatsrib), al-Aini (lihat Umdah al-Qari), As-Suyuthi (lihat
al-Mashabih fi Shalat at-Tarawih), Ali al-Qari’ (Syarah Al-Muwaththa’)
serta ulama-ulama yang lain.
Imam Ibn Taymiyah menulis: ”Telah diterima bahwa Ubay Ibn Ka´b biasa
mengimami sembahyang untuk jamaah dengan 20 rakaat di bulan ramadlan
dan 3 rakaat witir. Dari sini, para ulama bersepakat 20 rakaat sebagai
sunnat karena Ubay biasa mengimami jamaah yang terdiri atas Muhajirin
dan Anshar dan tidak seorangpun di antara mereka menolaknya.” (Fataawa
Ibn Taymiyyah hal.112)
Demikianlah bahwa telah nyata berdasarkan persaksian para Ulama Salaf
bahwa Tarawih dilaksanakan di masa mereka adalah 20 rakaat dengan 3
rakaat witir. Ibadah Tarawih ini adalah ibadah yang dilakukan berjamaah
dan dengan mudah diketahui berapa rakaat dilakukan, karena yang
melakukan banyak dan merata di seluruh wilayah Islam. Kesamaan fatwa di
masa para Ulama Salaf menunjukkan bahwa ibadah ini merata dilakukan
dengan jumlah yang seragam, yakni 20 rakaat. Mustahil, hanya dalam waktu
tidak sampai 2 abad seluruh ummat melakukan kesalahan secara seragam,
sedangkan pada masa itu Islam dipenuhi oleh para Ulama yang tsiqah.
Para Imam Madzhab dan para Imam Hadits tidak mungkin bareng-bareng
salah semua. Kalau begitu, rusaklah ajaran agama ini sedari awal.
Pandangan para Ulama Salaf ini telah diterima oleh mayoritas ummat
dan mendapatkan pembenaran dari Nabi SAW: ”Ikutlah kalian kepada dua
orang sesudahku, Abu Bakar dan Umar.” (H.R. Imam Tirmidzi)
Sabda Rasulullah SAW juga: “Maka wajib atas kalian berpegang teguh
kepada sunnahku dan sunnah Khalifah Rasyidin yang diberi hidayah.” (H.R.
Abu Dawud dan Tirmidzi)
Rasulullah SAW juga bersabda: “Ummatku tidak akan bersepakat di atas kesalahan.” (HR Imam Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
Maka, ikutlah manhaj yang dipegang oleh para Ulama Salaf dan jangan berpaling dari kesepakatan mereka.
Wa Allah A’lam bi ash-showaab
No comments:
Post a Comment